ETIKA BERBICARA DALAM SASTRA HINDU
I Wayan Jendra
Pendahuluan
Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Etika juga diberi pengertian tentang kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat (Moeliono, Penyunting, 1988 :237). Etika berhicara dengan demikian dapat diartikan sebagai pengetahuandan nilai tentang baik dan buruk moral berbicara (berbahasa) (Cf.
H.W. Fowler, and F.G. Fowler, 1964:415)
Sastra Hindu yang dimaksud dalam konteks ini adalah sastra dalam arti luas. Sastra dalam arti luas meliputi pustaka suci : Catur Weda, Bhagawadgita, Purana, Itihasa, dan lain-lain yang masih tergolong sastra Hinduistis. Berbicara adalah salah satu aktivitas berbahasa yang paling awal atau paling tua di antara aktivitas berbahasa yang lain seperti mendengar (menyimak) membaca, dan menulis. Selain itu, berbicara dan sebenarnya juga sekaligus dalam berbicara itu berarti berbahasa merupakan salah satu aktivitas budaya yang paling penting, di antara unsur budaya yang lain. Untuk memperkuat pernyataan itu di bawah ini akan dibuktikan kedudukan berbahasa (berbicara) dalam kerangka konsep agama Hindu dan tinjauan dari aspek lain, sebelum membicarakan etika berbicara. Kedudukan Etika (berbicara) dalam Kerangka Konsep Agama. Hindu Istilah kedudukan (status) di sini dimaksudkan adalah posisi relatif etika sebagai lambang nilai budaya dan nilai sosial di dalammasyarakat Hindu (Halim, 1976). Dalam bagian ini akan disoroti di
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
Etikaka Berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguistik) mana sebenarnya posisi etika dalam kerangka konseptual Agama Hindu. Di dalam Agama Hindu dikenal tiga konsep kerangka Agama Hindu yakni: karma, bhakti, dan jnana. Ada pula yang menyatakan bahwa kerangka konsep Agama Hindu dibedakan menjadi empat : karma, bhakti, jnana, dan raja marga. Akan tetapi, pada kesempatan ini kerangka konsep Agama Hindu, dibedakan menjadi tiga saja. Ketiga konsep itu merupakan satu- kesatuan yang bulat, utuh, dan terpadu, hanya secara teoretis dibedakan. Kesatuan yang bulat utuh terpadu itu dapat diperjelas dengan bagan berikut ini (Cf. Jendra, 1998 : 4 - 5) Keterangan Bagan
1. = Karma atau Yajnya adalah bulatan yang paling luar yang paling besar.
2. = Bhakti atau susila adalah bulatan tengah, tempat unsur susila berada.
3. = Jnana atau tattwa adalah bulatan inti yang paling kecil.
4. = Batas bulatan jnana, bhakti, dan karma yang samar karena ketiganya sesu ngguhnya merupakan kesatuan bulat yang utuhterpadu, yang sulit dipisahkan.
5. = Tanda bahwa unsur jnana terpancar pada susila (etika) dan kanna.
Gambar bagan di atas memberi petunjuk bahwa kedudukanetika atau susila dalam kerangka konsepsi Weda, berada di tengah-tengah yang menjadi penghubung antara jnana (tattwa) dan perbuatan sehari-hari (karma, ritual, yajnya).Pengertian kedudukan penghubung di sini dapat dijelaskan sebagai berikut.
12 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana
1) Etika adalah inti dari karma yakni sikap perilaku atauperbuatan dan cara berpakaian sehari-hari. Dengan kata lain, perbuatan sehari-hari seyogyanya senantiasa mengacu pada sopan santun, norma, atau etika. Perilaku berbahasa jugamempunyai aturan atau etikanya tersendiri.
2) Etika berbahasa yang merupakan bagian kecil dari etika umumnya bersumber pada tattwa (jnana, filsafat). Dengan kata lain, etika berbahasa adalah cermin (reflection) dari kesadaran ilsafat (tattwa). Perbuatan sehari-hari, sikap, dan cara berpakaian adalah pantulan kesadaran etika umumnya dan etika berbahasa khususnya.
3) Jnana (tattwa) adalah sumber etika umumnya dan etika berbahasa khususnya. Pengetahuan (jnana) seseorang seyogyanya akan terpancar pada etika berbahasa dan etika lainnya dan etika ini terwujud dalam perilaku sehari-hari.
4) Secara teoretis, seyogyanya ketiga konsepsi itu berjalan seiring dan sejajar. Artinya, bila seseorang mempunyai pengetahuan (jnana, tattwa) yang tinggi, sepantasnya orang itu rendah hati dan penuh etik moralis, termasuk cara-cara dalam pemakaian etika berbahasanya yang lembut, sejuk, dan menyegarkan dalam perilaku sehari-hari yang baik danbenar. Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa tidak selamanya ketiga hal itu berjalan seiring dan sejajar, malahan sering terjadi seseorang yang jnananya tinggi, bahasanya kurang etik moralis, perilaku dan cara berpakaiannyapun tidak mencerminkan kadar ketinggian intlektualitasnya.
Apabila seseorang secara formal atau nonformal mempunyai dan mengaku berpendidikan tinggi, tetapi ternyata tingkah laku dan etika berbahasanya kurang pantas dan tidak moralis, maka perlu dipertanyakan, ”dapatkah orang itu mengambil hikmah positif dari ilmu pengetahuannya yang telah dimiliki itu?” Pertanyaan itu pantas dilontarkan, sebab sesungguhnya hakikat ilmu pengetahuan adalah kebijaksanaan dan hakikat kebijaksanaan adalah etik moralis, dalam segala perilakunya. Sebab orang terpelajar harus berbudi luhur. (Cf. Khandwa, 1992 : 54 - - 55) Kedudukan bahasa (berbicara) akan diteropong secara khusus, dalam tatanan konsep trikaya parisudha ; tiga hal yang
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009
13 Etika Berbicara dalam Sastra Hindu
(Sebuah Analisis Religiososiolinguistik) suci (baik) (Jendra,1993 : 45-47) yakni sebagai berikut.
1) Berpikir yang baik dan suci, meliputi tiga pengendalian pikiran :
a. tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal ;
b. tidak berpikir buruk terhadap mahluk lain ; dan
c. tidak mengingkari karma phala.
2) Berbicara (berkata) yang baik dan suci, meliputi empat pengendalian sebagai berikut :
a. tidak suka mencaci maki ;
b. tidak berbicara kasar kepada mahluk lain ;
c. tidak memitnah ; dan
d. tidak ingkar janji.
3) Bertingkah laku yang baik dan suci, meliputi tiga pengendalian sebagai berikut:
a. tidak menyiksa mahluk lain;
b. tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda; dan
c. tidak berzina (berselingkuh).
(Pudja, 1985 : 45-47) Di dalam trikaya parisudha, ternyata berbicara menempati posisi yang penting yakni posisi tengah (inti), di antara berpikir dan berperilaku. Berbicara pada posisi ini juga sebagai penghubung antara rentangan berpikir dan berperilaku. Tidak ada orang yang berbicara tanpa lebih dulu berpikir. Semakin teliti berpikir akan semakin hati-hati pula dia berbicara. Ketelitian dan kecermatan berpikir akan terpancar melalui cara dan isi pembicaraannya. Seseorang yang dalam pembicaraannya lembut, teratur, sopan (etik), dapat diasumsikan bahwa orang itu mempunyai cara berpikir dan kadar intelektual yang baik. Hubungan yang erat antara pikiran dan berbicara telah diketemukan oleh para ahli, antara lain oleh David Crystal (1992:14), Su’udi (1990:32-34), dan lain-lain Selain posisi berbicara yang cukup strategis, juga sorotan dari kuantitas pengendalian diri menunjukkan bahwa berbicara mempunyai jumlah pengendalian diri yang lebih banyak yakni empat unsur, sedangkan unsur yang lain hanya tiga unsure pengendalian. Hal itu berarti bahwa berbicara dari segi kuantitas lebih tinggi bobotnya dan lebih penting dibandingkan dengan unsur trikaya parisudha yang lain.
14 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana Manusia adalah mahluk bicara yang merupakan perwujudan dari triputi yakni manas (pikiran, kecerdasan), nafas (prana) dan budhi. Oleh karena itu, manusia dikenal pula sebagai kesatuan pikiran, bicara (perkataan), dan tubuh (mano-vaakaayam).
Vaak, `bicara’ mereleksikan hidup. Manusia harus menyucikan
ketiganya ini....”, demikian sabda suci Satya Narayana. Tinjauan dari sudut sosioantropologis pun membuktikan bahwa kedudukan bahasa (berbicara) memang juga paling menentukan karena menjadi media pengungkap semua aspek kehidupan sosiobudaya.
Hal ini dapat dilihat dalam kedudukan unsur bahasa di antara ketujuh unsur budaya yang universal seperti diungkapkan oleh
Koentjaraningrat(1985). Di situ ternyata kedudukan bahasa paling inti, setelah unsure religi. Tidak ada unsur sosiobudaya bisa berkembang dan dapat terwariskan bila tanpa ada bahasa sebagai media pengungkap. Peranan Berbicara Peranan adalah status dinamis dari kedudukan, sedangkan kedudukan adalah posisi statis sesuatu hal atau benda. Setiap unsur dalam kehidupan jagat raya ini mempunyai kedudukan statis dan kedudukan dinamis yang disebut dengan istilah peranan. Istilah peranan mempunyai pengertian yang mirip dengan fungsi karena istilah peranan merupakan bagian dari konsep fungsi (Cf. Kridalaksana, 1982 : 48). Berbicara adalah bagian yang tidak terpisahkan dari berbahasa. Aspek berbicara merupakan keterampilan yang paling awal yang dimiliki oleh setiap orang dalam proses pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, menganalisis peranan berbicara, hamper berimpit dengan mendeskripsikan peranan bahasa. Peranan bahasa (baca juga berbicara) telah banyak dibicarakan oleh para ahli bahasa, baik sarjana asing maupun para ahli di dalam negeri. Ada yang membedakan fungsi bahasa menjadi dua seperti Malinowski, ada yang tiga seperti Sudaryanto (1990), Bühler (1934), Revesz dan Halliday (1977), ada yang membedakan menjadi empat fungsi seperti Ogden dan Richard, ada yang membedakan menjadi lima fungsi (Leech dalam Sudaryanto, 1990: 9 21), ada yang membedakan menjadi enam fungsi (Jakobson, dalam Teeuw : 1984:54), ada yang membedakan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 15
Etikaka berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguistik) menjadi tujuh fungsi seperti Dell Hymes dan Halliday (1992:20-24), dan malahan ada yang menyatakan bahwa fungsi bahasa itu tidak terbatas (Mario Pei (1949) 1965 : 162). Di sini dikemukakan klasiikasi tujuh fungsi yang dapat mewakili yang lain. Peranan bahasa secara sosiolinguistik dapat dibedakan menjadi tujuh fungsi menurut Halliday (1972) dalam bukunya Language Structure and Lan guage Function (dalam Lyons, 1972). Ketujuh fungsi yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Fungsi instrumental, sebagai alat saja.
(2) Fungsi regular atau instruktif, untuk mengatur dan menyuruh.
(3) Fungsi deskripsi atau informatif untuk memaparkan atau menjelaskan.
(4) Fungsi interaktif yakni untuk melakukan hubungan dengan orang lain.
(5) Fungsi emotif (individual emotive) untuk mengungkapkan rasa, emosi.
(6) Fungsi heuristik yakni untuk memecahkan problematik dalam konteks ilmu pengetahuan.
(7) Fungsi imajinatif untuk mengkhayal, merenungkan secara
iktif atau fak tual. Setiap fungsi bicara (bahasa) tidak mesti dalam suatu konteks tertentu berdiri sendiri. Sering terjadi dalam suatu situasi kontekstual salah satu fungsi itu yang menonjol dan yang lain sebagai fungsi tambahan atau berpadu dalam suatu kombinasi.
Contoh, dalam uraian karya ilmu pengetahuan, maka fungsi informatif yang menonjol dan diikuti dengan fungsi heuristik. Dalam karya seni sastra yang iktif, maka fungsi imajinatif yang dominan disertai fungsi informatif dan lain-lainnya. Singkatnya, peranan bahasa (bicara) sebagai media religio spiritualitas dapat dirangkum seperti yang diungkapkan oleh Bhagawan Sri Sathya Nayarana sebagai berikut (Kasturi, 1985-1987). ”Kata-kata (bicara) mempunyai kekuatan hebat. Kata-kata dapat -membangkitkan emosi dan juga menenangkan.
Kata-kata dapat mengarahkan dan dapat membakar, juga menjelaskan dan membingungkan. Kata-kata adalah kekuatan hebat yang membawa cadangan besar,
16 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana kekuatan, dan kebijaksanaan. Lidah harus digunakan untuk mengucapkan nama Tuhan. Lidah tidak boleh digunakan untuk mendesis seperti ular atau menyalak atau mengaum dengan tujuan untuk melancarkan teror. Ini bukanlah maksud Tuhan sewaktu memberikan lidah kepada manusia ....
Kata-kata penuh kekuatan sehingga menunjukkan karakter seseorang, menampilkan kepribadiannya, mendidik yang lain serta menyampaikan pengalaman dan berita.Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan kata-kata. Tergelincir ketika berjalan, sakitnya dapat diobati, tetapi tergelincir ketika berbicara, sakitnya tak tersembuhkan. Lebih lanjut, pada kesempatan lain Beliau berkata sebagai berikut. ”Seluruh kekayaan yang didapat manusia diperoleh melalui kata-kata. Persahabatan dan perhubungan manusia ditegakkan dengan perkataan. Pada akhir hayatnya maut pun mendekati manusia melalui kata-kata”.
Seluruh uraian di atas baik tinjauan sosiolinguistik maupun religiospiritual telah membenarkan dan memperkuat bahwa peranan bicara (bahasa) sangat besar, kuat, dan luas. Seluruh aspek kehidupan dan dalam hampir segala sisinya diwadahi, dituangkan, disalurkan melalui medium bahasa. Peranan bahasa telah disadari sejak dulu oleh para resi yang menerima wahyu dari Tuhan seperti diungkapkan dalam RgWeda X, 71-1-2. ”Brahaspate pratamam váce agram ata namadheyam dadhánam yad esam sresvam yad aripram asit prempá tad esam mihitam guhaavih” Saktum iva titauna punanto yatra ghirá manasá vácam akrata atrá sakhayam sakyani janate bhadraisan laksmih nihitádhi vaci”. Artinya ”Bicara sangat utama, oh Brahaspati yang diucapkan oleh orang-orang suci menyebut namanya.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 17
Etika berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguisti k) Bicaranya mulia, tiada noda. Dengan cinta kasih, diungkapkan Yang Mahasuci dengan kata-kata tersaring dalam batin seperti mengayak tepung dalam ayakan.
Di situlah terjadi ikatan persahabatan dalam bicara, di situlah terkandung keindahan”.
Etika Berbicara
Menyadari peranan bicara yang demikian penting, kuat dan luas, maka tentu saja diperlukan tatanan dalam bentuk suatu aturan atau norma bicara yang dalam konteks ini disebut etika berbicara (linguistic etiquette)atau peranan bicara adalah etika berbicara.
Alasannya, karena tidak ada sepotong pembicaraan pun yang dilontarkan tanpa situasi kontekstual. Unsur-unsur situasi kontekstual itu salah satunya adalah norma bahasa (norms of language atau linguistic etiquette) (Hymes, 1972 : 110 ; Geertz dalam Fishman, 1972 : 281). Perlu dimaklumi bahwa situasi konstekstual menurut teori sosiolinguistik memiliki beberapa unsur, namun yang diterapkan di sini adalah teori Hymes (1972) yang membedakan delapan unsur situasi kontekstual itu yakni sebagai berikut. 1) Setting and Scene ; `tempat dan adegan atau waktu’
2) Participant, ‘peserta’
3) Ends, ‘tujuan’
4) Act sequence, ‘ bentuk dan isi pesan’
5) Key, ’kunci’ cara penyampaian’
6) Instrumental, ‘alat, saluran’
7) Norms, ’norma, aturan’
8) Genre, ’kategori bentuk percakapan’.
Kedelapan unsur situasi kontekstual ini diakronimkan menjadi SPEAK ING (Fishman, 1977; Halliday, 1985).
Di dalam konsep Hinduistis, unsur situasi kontekstual itudibedakan menjadi tiga: desa, kala, patra, `tempat, waktu, dan orang. Secara tersamar dalam uraian fungsi bahasa telah dianjurkan suatu cara atau etika berbicara dan telah pula dilarang etika berbicara yang menimbulkan dampak negatif. Oleh karena.
18 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana itu, dalam bagian ini akan dipaparkan etika berbicara yang baik dan etika berbicara yang tidak baik.
V. Berbicara yang Etik Moralis Pelaku bicara adalah manusia, sebab hanya manusia diyakini dapat berbicara sedang mahluk lain sementara dianggap tidak bias berbicara. Oleh karena itu, manusia disebut mahluk bicara (Jendra: 1993 19). Setiap orang mempunyai sifat dan watak yang berbeda. Dilihat dari sifat-sifat rentangan dan kadar kesukaan berbicara, maka manusia dapat dibedakan menjadi tiga tipe, seperti terpapar di bawah ini.
1) Manusia pendiam (kalem) tidak banyak bicara.
2) Manusia moderat.
3) Manusia banyak bicara.
Apabila dilihat dari matra atau parameter sastra Wedik, tipe manusia yang kalem atau pendiam diyakini lebih baik. Pernyataan ini dapat dilihat di sloka Bhagawadgita XVII. 16 berikut ini.”Manah prasádah saumyatvam maunam atmavinigrahah etat bhavasamsuddhir ity tapo manasam uchyate” Artinya `Suci murni dalam pikiran sopan Santun, pendiam menguasai diri dan lurus hati disebut bertapa dengan pikiran’. Jelas dinyatakan dalam Bl:agawadgita XVII.16 itu bahwa orang yang pendiam adalah orang yang berkaitan dengan kesucian hati, penguasaan pikiran, dan etik atau sopan santun, walaupun tidak secara terang-terangan atau senantiasa berkorelasi positif seperti itu. Orang yang pendiam secara umum lebih dihargai atau lebih dinilai tinggi dibandingkan dengan tipe orang kedua yang moderat. Selanjutnya, orang yang moderat lebih baik dibandingkan dengan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 19
E ka Berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguis k) orang yang ketiga yakni banyak bicaranya. Tentu hal ini harus dalam situasi kontekstual yang sama. Artinya, variabel unsur desa, kala, dan patra (situasi kontekstual) dianggap netral atau sama pengaruhnya .Situasi penilaian etika berbicara akan menjadi lain, bila seseorang yang disuruh memberi ceramah di depan umum, lalu orang itu diam, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam situasi kontekstual seperti itu, orang yang diam justru dinilai kurang etik, bahkan orang yang banyak bicaranya akan dinilai lebih etik, dalam konteks seperti itu Tipe orang pendiam, memang secara religius spiritual diyakini lebih baik, selain lebih etik moralis, dibandingkan dengan orang moderat dan orang yang banyak bicara. Hal ini dinyatakan dalam sloka Bhagawadgita XII. 19 sebagai berikut. ”Tulyanindaastutir maunii amstushto yena kenachit aniketah sthiramatis bhaktinaam me priyo naraah” Artinya ’Sama terhadap puji dan maki, pendiam prihatin pada apa adanya. Tiada tempat tinggal teguh imannya bhakti seperti inilah yang kukasihi” Masih terkait dengan sloka Bltagawadgita XVII. 16 yang dikutip di depan bahwa orang yang diam bukan saja lebih etik moralis dari segi pandangan sosio budaya, melainkan dari segi pandangan Tuhan pun pendiam itu dianggap lebih berbakti dan lebih disayangi oleh Tuhan. Pernyataan ini banyak didukung oleh pustaka suci Hinduistis. Di bawah ini, nilai etika orang pendiam dinyatakan di dalam Nitisastra (Menaka, 1981 : 56) sebagai berikut. ”Dharma phalaning mona tan angucap wang ikang agalak ring waca nemu duhka, ikang umeneng liub dhana ya matumpuk, dhana yuga impen ikanang acabda”
20 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana
Artinya : `Harta benda upahnya orang yang diam, tidak membicarakan orang,
Orang yang galak bringas dalam berbicara, menemukan duka, Orang yang diam bertumpuk kekayaannya,
Kekayaannya, ibarat obor juga orang yang pendiam’. Ternyata orang pendiam dalam Nitisastra diyakini akan banyak mendatangkan pahala berupa kekayaan. Malahan orang yang diam di dalam sloka Canaka Nitisastra III. 11 dapat pula menghindari perkelahian atau percekcokan, seperti sloka berikut.
”Udyoge nasti daridryam
Japato nasti patakam
Maune ca kalaho nasty
Nasti jagarato bhayam”
Artinya :
`Tidak ada kemiskinan bila rajin berusaha
Tidak ada kecelakaan bila berjapa
Tidak ada perkelahian bila diam
Tidak ada bahaya bila berhati-hati’.
Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, berpendapat tentang sikap diam (mauna) sebagai berikut.
“Diam berarti kekayaan hati. Diam berarti selalu ada di situ. Diam berarti aliran suci Tuhan yang tidak pernah berhenti kepada dirimu dalam dunia”.
Lebih jauh Beliau menyatakan bahwa: ”Diam adalah bahasa sejati bagi yang telah mengenal moralitas” (Murnianda Brotherhrood, 1988 : 10) Sikap seseorang yang diam, malahan disamakan dengan Tuhan, seperti ungkapan berikut ini, ”silence is Brahman”, `diam adalah Tuhan’.
Berdasarkan penalaran itu pula, diasumsikan bahwa masyarakat Bali yang kebanyakan beragama Hindu lebih
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 21 E ka Berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguis k) menghargai orang yang pendiam dibandingkan dengan orang yang banyak bicaranya. Orang yang moderat orang yang bukan pendiam dan bukan pula orang yang banyak bicara, masih diberi nilai yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang banyak bicara, seperti telah diungkapkan di depan. Apabila ditinjau dari segi nilai universal dan sosiolinguistik, orang yang moderat mendapat tempat yang lebih baik dan dianggap etik moralis. Grice (dalam Sumarmo, 1967 : 10) member penekanan pada etik sosial berbicara agar pembicaraan menjadi efektif dan eisien. Dua kaidah dasar yang dianjurkan adalah sebagai berikut.
(1) Prinsip kerja sama (coorperative principle)
(2) Maksim percakapan (maxim conversation) Dalam prinsip kerja sama, dianjurkan agar dalam berbicara dalam suatu interaksi tetap etik, dengan memegang sikap : Berikanlah sumbangan, yang diperlukan pada saat pembicaraan itu, dengan berpegang pada tujuan pembicaraan atau arah perubahan percakapan di tempat kamu diajak berbicara”
Maxim percakapan mempunyai empat komponen sebagai berikut.
1) Maksim kualitas meliputi isi etika berbicara :
a. sumbangan pikiran yang benar ;
b. jangan mengatakan sesuatu yang buktinya tidak cukup.
2) Maksim kuantitas, meliputi isi etika berbicara :
a. sumbangan pikiran yang benar-benar informatif demi tuntutan tujuan;
b. jangan memberi informasi rnelebihi keperluan (to the point)
3) Maksim relevan, meliputi isi etika berbicara :
a. sumbangan pikiran yang memang terkait dengan topik ;
b. jangan berbicara yang tidak berhubungan dengan tema pokok atau topik.
4) Maksim cara berbicara, meliputi etik berbicara :
a. tenang, jangan emosional ;
b. jelas, jangan bermakna ganda ;
c. singkat dan padat ;
d. sistematik.
22 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana
Kaidah atau norma berbicara yang dikemukakan oleh Grice, secara tersamar mengacu kepada tipe orang yang moderat yang tidak suka berbicara banyak, bertele-tele, keluar dari jalur inti, dan topik. Etika berbicara seperti yang diajukan Grice masih seiring atau mempunyai nilai yang paralel dengan etika berbicara dalam agama Hindu, seperti yang sangat dianjurkan oleh Bhagawan Sri Sathya Sai Baba berikut ini. ”Atma (jati diri) dapat dikenal dengan kata-kata suci seperti sathyam (kebenaran), sivam (kebajikan), dan sundaran (keindahan). Kejururan itu bagaikan sinar terang yang membantu kita untuk melihat alam sekelilingnya secara objektif. Dengan pikiran terang, Anda dapat membuang segala keinginan rendah dan mengalihkan perhatian ke dalam atma” (Murnianda Brotherhood, 1988 : 37-8) Pada kesempatan lain, Beliau juga menyatakan etika berbicara sebagai berikut. ”Untuk membangun kitab suci (sastra agama) diperlukan sathyarn vada,’ berbicara benar dan jujur’. Dan untuk membangun dunia diperlukan priyamvada : berbicara penuh kasih sayang ! Jika kedua ini dapat dicamkan dan dipraktekkan, maka tidak lagi diperlukan disiplin-disiplin (lain) yang berat”. ”..... Ucapkanlah kata-kata yang manis, sabar, dan ramah sehingga menyenangkan semuanya (Murnianda Brotheshood 1988 : 27 dan 63 6).
Lebih lanjut Beliau bersabda : ”Jadikanlah hidupmu sebagai bunga mawar yakni berbicara yang lembut dalam bahasa yang segar penuh keharuman”.
”Buatlah hatimu menjadi lembut, maka keberhasilan dalam sadhana spiritual akan segera menanjak. Berbicara yang lembut, berbicara yang manis, berbicara hanya menyangkut tentang Tuhan, itulah proses pelembutan jiwa atma. Kembangkanlah rasa haru, rasa simpati, kesungguhan atau ketulusan hati dalam melayani, mengerti hakikat kemiskman dan penderitaan, orang
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 23
E ka Berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguis k) yang tertekan sedih, bagilah derita bersama orang lain. Demikiankah caranya untuk melembutkan hati dan meningkatkan sadhana agar berhasil baik(Hislop, 1985:150 ; Cf Murnianda Brotherhood, 1988 : 12)
Kutipan panjang di atas jelas menyatakan bahwa : kejujuran bicara, kebenaran, kebajikan, ketulusan, keramahtamahan, kesegaran, kelembutan, dan penuh kasih sayang, merupakan etika berbicara yang ideal, bukan saja mempunyai nilai sosial yang bagus, tetapi sekaligus nilai spiritual yang akan mengangkat derajat sadhana spiritual yang mendekatkan diri dengan Tuhan. Usaha-usaha pengendalian diri agar mampu berbuat dan menjalankan etika berbicara yang ideal seperti di atas, diharapkan mampu melakukan watch. Kata watch adalah akronim yang secara makna leksikal berarti `jaga, kendalikan atau jam’. Tetapi makna `jam’ dalam konteks ini tidak dipakai, yang dipakai adalah makna `jaga’ atau `kendalikan’. Watch merupakan singkatan manis (akronim) dari kepanjangan berikut ini. W : Kendalikan kata-katamu (your word)
A : Kendalikan tindakanmu (your action)
T : Kendalikan pikiranmu (your thought)
C : Kendalikan karaktennu (your character)
Berbicara yang Tidak Etik
Kehidupan memang diwarnai oleh sifat rwabhineda `dua perbedaan’ seperti hitam-putih, timur-barat, baik-buruk, pandai- bodoh dan polarisasi seperti itu yang disebut bipartial `pembagian jadi dua’. Di dalam etika berbicara juga ada rwabhineda seperti itu. Di depan telah dipaparkan etika berbicara yang moralis spiritual. Pada bagian ini dibicarakan kebalikan dari itu yakni aspek negative yang sepantasnya dijauhi atau dilarang di dalam kehidupan. Kehidupan menjadi tidak tentram, kacau, rusuh karena banyak berawal dari cara berbicara yang kurang etik. Berbicara tanpa kendali, berbicara yang kurang dipikirkan sehingga menimbulkan dampak yang kurang diinginkan. Di dalam masyarakat Hindu di Bali ada ungkapan, ”Konden
24 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana makeneh suba ngomong”, ’belum berpikir sudah berbicara’, adalah ungkapan untuk menyatakan betapa cerobohnya orang yang bersangkutan berbicara, sehingga seolah-olah belum terpikirkan sudah dikemukakan dalam bentuk bicara, akhirnya menimbulkan kesan yang kurang baik. Ungkapan sejenis itu mengandung maksud bahwa sebaiknya kalau orang berbicara, direnungkan, dipikirkan baik-baik terlebih dulu. Setelah dirasakan pemikiran itu baik, benar dan matang dengan beberapa alasan, barulah diungkapkan dalam bentuk bicara yang etik sehingga tidak menimbulkan salah paham dan ketersinggunan pada teman yang diajak berbicara.
Sejalan dengan ungkapan etika berbicara, ada juga sejenis pemeo begini, ”gangsaran tindak kuangan daya” artinya ’lebih cepat tindakan kurang pikiran”. Maksudnya, pikirannya kurang matang, kurang beralasan, telah diwujudkan dengan perbuatan. Hal ini juga menunjukkan agar di dalam masyarakat Hindu, agar seseorang sebelum melakukan segala sesuatu kegiatan, berpikir baik-baik, kemudian baru berkata dan dilaksanakan. Tanpa proses seperti itu, maka yang terjadi adalah berbicara yang tidak etik dan bertindak tanpa dilandasi pikiran yang matang, seperti uangkapan di atas. Berpikir adalah kegiatan awal yang menentukan artikulasi berbicara dan berbicara sering diikuti oleh tindakan. Oleh karena itu, berpikir adalah kegiatan sentral. Di dalam konsep Hindu malahan dunia ini diyakini sebagai cerminan atau releksi pikiran sehingga ada ungkapan, ”mano mulam idam jagat artinya, jagat (dunia) ini adalah releksi pikiran’. Oleh karena itu, sastra Hindu menganjurkan agar setiap warga sedharma (umat Hindu) senantiasa, ”think good, say good, do good, you will be good” ; `berpikir yang baik, berkata yang baik, dan bertindak baik, maka Anda akan menjadi orang baik’. Kalau berpikir salah atau kurang baik akan muncul bicara yang kurang etik dan tindakan yang menyinggung atau menyakiti hati orang karena segalanya bersumber dari pikiran seperti mantra Rgve,da IV. 58-5
”Eta arsanti hrdyaat samudraat”
`Bicara berasal dari hati bagaikan lautan’Rgveda I. 164.42
”Tasyaah samudraa adhi vi ksaranti, tena jivanti pradisas catasrah”
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 25E ka Berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguis k)
Artinya ’Bicara menyebar meliputi jagat raya, bagai lautan dengan bicara semua mahluk dapat hidup’ lyam yaa paramesthini
vaag devii brahmasamsitaa Atharvaveda XIX. 9.3 Artinya ’Bicara adalah kekuatan tertinggi, bicara dipertajam dengan ilmu pengetahuan’ Dalam mantra pustaka suci itu dijelaskan keterkaitan hati (pikiran) dengan bicara atau ucapan. Kadar kecerdasan pikiran umumnya akan tampak jelas dalam bicaranya. Apabila pikirannya suci jernih, tenang, maka bicaranya pun akan lancar, jelas dan sistematik. Sebaliknya, bila pikirannya tidak tenang, suasana hati kurang nyaman, maka bicaranya pun akan sangat terpengaruh. Seseorang bisa gugup, gelisah, dan bicaranya kurang logis.Kesejajaran pikiran dan bicara, satunya pikiran, kata, dan perbuatan menunjukkan ciri orang itu dapat dipercaya. Apabila ketiga unsur ini tidak sejajar, orang itu akan sulit dipercaya, walaupun orang itu tergolong cerdas dan cendekiawan. ”Kemanusiaan sejati, terdiri atas keselarasan pikiran, perkataan, dan tindakan. Jika tidak ada keselarasan perkataan dan tindakan apakah gunanya perkataan seseorang”, sabda Sathya Sai. ”Hidup yang ideal adalah hidup yang terjalin dari keselarasan lengkap dan kesucian dalam pikiran, bicara, dan perbuatan” Dalam kasus seperti ini masalah cacat organ bicara dan ”sakit bahasa” tidak diperhitungkan, semuanya dianggap normal. Sebab bila seseorang cacat organ bicaranya atau ”sakit bahasa”, bisa saja cara berpikirnya baik, jernih, tetapi bicaranya tidak lancer mungkin gagap, telok atau susunan bicaranya (kalimat-kalimatnya) kurang coherensif, sehingga terkesan kurang etik. Orang yang ”sakit bahasa” perlu diadakan remedi bahasa, ’pengobatan bahasa’ dengan jalan belajar keterampilan berbahasa. Hal ini
26 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana cukup penting, sebab kecerdasan pikiran tanpa terlatih dalam bicara, sangat terbuka kemungkinannya untuk berbicara kurang etik. Tuhan telah memberikan anugrah kepada manusia berupa volume otak yang melebihi mahluk lain, dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, dua kaki, dua tangan, dan satu mulut. Anugrah itu harus dipakai secara proposional-berimbang. Perimbangannya hendaknya seperti berikut.
”Setelah melihat dua kali, mendengar dua kali, bekerja dua kali, dan mengalami dua kali, dan berpikir dua kali dengan tarikan nafas dua kali, baru berbicara atau berkomunikasi sekali” (Perimbangan dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki, dua lubang hidung, baru berbicara sekali). Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, mengingatkan agar tetap etik berbicara, jangan sampai melanggar pantangan trikarana sudhi atau trikaya parisudha.
”Lidahmu bertanggung jawab pada empat kesalahan besar : (1) berdusta, (2) meinbicarakan kesalahan orang lain, (3) mencaci maki, dan berbicara tidak susila (porno)”. (Murnianda Brotherhood, 1988:10). Lebih kongkret lagi dikatakannya lagi sebagai berikut. ”.... berhati-hatilah dengan kata-kata. Tergelincir ketika berjalan sakitnya dapat diobati, tetapi tergelincir ketika berbicara, sakitnya tidak tersembuhkan”. Pernyataan dalam paragraf itu, memberi himbauan agar bericara penuh etika, karena kekuatan bicara memang bisa menimbulkan sakit yang sulit diobati dan malahan tidak tersembuhkan. Tinjauan secara spiritual dalam konsep atmawidya memberi pengertian bahwa setiap mahluk terutama manusia adalah sama, bersaudara. Konsep ini tertuang dalam tat twam asi, ”itu adalah kamu” atau dengan terjemahan yang lebih bebas’, ltu (Tuhan) ada pada kamu, ada juga pada dia dan ada pada diri sendiri, karena semua adalah atma sebagai percikan dan sama dengan Tuhan’. Kalau sudah sama, mengapa menyakiti seseorang dengan bicara yang kurang etik ? Menyakiti orang lain, sama dengan menyakiti diri sendiri.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 27E ka Berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguis k)
Apabila mawas diri lebih dalam dan lebih serius dengan renungan hati murni, sesungguhnya bahasa yang ada di dalam hati kita masing-masing adalah sama yakni bahasa hati seperti ungkapan.”There is only one language, the language of heart” (`Hanya ada satu bahasa, yakni bahasa hati’) Manusia sering lupa bahwa hakikat jati dirinya sama dengan orang lain. Karena lupa itu menyebabkan egonya, rasa “aku-nya, muncul dan mengira orang lain itu tidak sama dengan dirinya. Malahan ada orang yang merasa naik harga dirinya dengan memarahi dan berkata kurang etik kepada orang lain. Bertumpu dari konsep tat twam asi itulah, makanya :”Jangan mengizinkan mulutmu mengeluarkan kata-kata kotor atau mencaci maki. Cemburu dan iri hati, juga datang dari pikiran, egois, dan harus dijaga hati-hati dan mesti dikendalikan ”(Murnianda Brother hood II,1988:47) Penelitian ilmiah dengan tustel kirlian fotograi, sebuah tustel yang dirancang dengan tenaga elektrik magnetik, menujukkan bahwa orang yang marah mencaci maki tidak saja berakibat buruk terhadap orang yang dimarahi, tetapi juga meracuni seluruh tubuhnya sendiri, sehingga terlihat dalam foto, bintik-bintik hitam seperti tersulut rokok sedangkan orang yang dimarahi badan astralnya terlihat seperti torehan kilatan petir. Sebuah contoh lain, dikisahkan seseorang ibu yang sedang menyusui anaknya, dia bertengkar dengan tetangganya dengan kemarahan yang meledak- ledak, akibatnya anak yang sedang menyusui itu meninggal karena keracunan susu ibunya. Susu ibunva menjadi racun karena ibunya memaki-maki dalam kemarahannya yang memuncak. Oleh karena itu, kita dianjurkan agar mengikuti petuah di bawah ini. ”Hindarkan dirimu jangan terjatuh ke dalam kebiasaan buruk suka berteriak dan menjerit, jika mendapat keadaan yang kurang berkenan di hati. Juga cegah dari kebiasaan atau kedukaan berbicara panjang dan lama, suara keras-keras dan kasar, kebiasaan ini sangat buruk ” (Murnianda Brotherhood II, 1988 : 50)
28 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana Orang yang sering marah-marah dan suka berbohong akan berpenyakitan, lemah, dan cepat tua. Oleh karena itu, sangat dianjurkan senantiasa senyum, ramah, bergembira ria. Marah bila ditinjau dari intensitasnya dapat dibedakan menjadi empat tahapan atau empat jenis marah. Di antara empat jenis marah, marah yang pertama paling baik, marah keempat paling jelek. Tetapi kalau bisa, hindarilah keempatnya. (1) Marah seperti menulis di air. Marah ini sebentar dan tidak berbekas.(2) Marah seperti menulis di pasir. Marah jenis ini lebih lama dibandingkan dengan yang pertama. Masih terlihat berbekas, namun hanya sebentar karena akhirnya akan lenyap oleh runtuhan pasir yang lain.(3) Marah seperti menulis di kayu. Marah jenis ini cukup lama sampai kayu itu rusak. Tentu harus dihindari marah jenis ini karena akan berakibat buruk tidak saja pada orang lain, tetapijuga pada diri sendiri. (4) Marah seperti menulis di tembaga. Kemarahan jenis ini benar-benar relatif permanen- seperti prasasti di tembaga. Akibat marah jenis ini, bisa menyebabkan sakit jantung, benar-benar buruk akibatnya. Dua dampak positif dan negatif atau sikap etik dan tidak etik, dipaparkan sebagai berikut.
“Lemparkan jauh-jauh kebohongan itu, karena kamu (lekas) menjadi tua atau berpenyakitan atau menjadi lemah dan tidak bertenaga. Ingatlah selalu, bergembira adalah sorga, putus asa adalah neraka” (Sampurna, 1979 : 143) Dampak buruk pembicaraan yang kurang etik, dinyatakan di dalam pustaka, Nitisastra sebagai berikut : “Ayawa maninda ring dwija daridra, dumada katemu, sastra tinanda dening kapataka tinemu mageng, yan kita ninda ring guru, patinta mapara katemu, luwir, nika tangsa patra tumibeng watu rimekkapasan
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 29 E ka Berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguis k) Artinya ‘Jangan mencela atau menghina pendeta, miskin akibatnya mencela pustaka sastra, menemukan sengsara besar (neraka) mencela guru, segera memenuhi ajal. Seperti piring sutra yang jatuh di batu, hancur berantakan’ Bila larangan etika berbicara itu dapat dipenuhi akan sekaligus dapat menerapkan konsep trihita karana yang berarti: (1) hubungan dengan Tuhan (Dewa) akan menjadi harmonis; (2) hubungan dengan sesama mahluk terutama sesama manusia akan harmonis; dan (3) hubungan dengan lingkungan alam pun dengan sendirinya baik pula. Pernyataan paragraf ini akan lebih meyakinkan dengan dukungan sabda avatara Bhawayan Sri Satyha sebagai berikut. “Jikalau Anda ingin mendekati Aku, tumbuhkan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia, berhenti membenci siapa pun, jangan marah, sinisme, jelus, iri hati, suka mencela, buang segala kepalsuan pikiran buruk-buruk (Murnianda Brotherhood 1988 : 10 ; Cf. Pudja, 1985 :30).
Menurut konsep Agama Hindu, pembicaraan yang tidak benar itu belum tentu suatu kebohongan. Sebab dalam situasi kontekstual tertentu, pembicaraan yang tidak benar, dapat menimbulkan efek positif: kebaikan dan kesenangan. Bila ada pembicaraan seperti itu terjadi, maka pembicaraan seperti itu dianggap kebenaran atau satya juga. Dengan kata lain, bicara seperti itu tetap dianggap etik. Sebaliknya, walaupun sesuatu dikatakan benar, sesuai dengan kenyataan atau fenomena yang terjadi, jika menimbulkan akibat yang kurang menyenangkan, maka bicara atau perkataan seperti itu disebut dusta atau kurang etik. Pernyataan itu dijumpai di dalam pustaka Sarasamuscya sloka 134, sebagai berikut.
“Na tathyawacanam sathyam naa tathyawacana mrsa yad bhutahita mathyartham tat satyamitaramrsa”
30 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana Artinya ‘Bicara yang tidak benar, belum tentu bohong sebab menimbulkan kebaikan, satya, juga namanya.
Bicara yang benar kalau menimbulkan akibat yang kurang menyenangkan, dinamanakan dusta juga’
Contoh : Orang yang berwajah buruk, bila dikatakan dengan kebenaran, ”wah wajahmya buruk amat” dia akan sangat tersinggung dan kurang senang. Begitu pula, bila orang sumbing, buta, pincang, dan cacat pisik lainnya, jika dikatakav dalam situasi kontekstual yang kurang sesuai, dia yang bersangkutan bias marah. Seorang raja telah membunuh seorang dukun karena menyatakan yang sebenarnya bahwa putra mahkota yang baru lahir akan pendek umurnya sebaliknya dukun yang lain diberi upah banyak, karena ungkapan umur pendek itu, dinyatakan dengan bahasa yang terselubung. Contoh-contoh itu memberi isyarat bahwa sesuatu kenyataan yang jelek, kurang menyenangkan, perlu dinyatakan dengan etik, dengan gaya bahasa lembut terselubung yang disebut eufemisme, `gaya menghaluskan’.
Kebohongan juga dapat dianggap tidak dusta, tidak jelek dan dianggap kebenaran bila memenuhi tuntutan desa, kala, patra (situasi konstekstual). Kebohongan yang dianggap etik dan benar itu, berjumlah lima buah dan disebut panca nrta sebagai berikut.
1) Kebohongan terhadap anak-anak
2) Kebohongan terhadap (calon) istri
3) Kebohongan terhadap musuh
4) Kebohongan di dalam dunia perdagangan
5) Kebohongan terhadap orang sakit.
Demi berpegang pada etika bicara yang lehih tinggi sebaiknya panca nrta itu dihindarkan dengan mengubah gaya bahasa dalam bentuk eufetisme dengan tetap berpegang pada situasi kontekstual. Etika berbicara yang kurang etik ini telah banyak
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 31
Etika berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguistik) mempengaruhi masyarakat Hindu yang ada di Bali dan telah diungkapkan di dalam Geguritan Basur, sloka 16 dan 19. Di situ dinyatakan dalam bentuk Puhuh Ginada agar jangan sombong, (banyak bicara, jangan beringas, jangan tidak setia pada janji, jangan banyak tertawa, dan lain-lain (Jendra, 1993 : 66-7). Di dalam kehidupan sehari-hari juga telah banyak dipraktikkan sehingga masyarakat Bali dikenal dengan sebutan masyarakat yang ramah, relatif kalem, lembut bila dibandingkan dengan masyarakat lain.
Penutup
Kedudukan etika berbicara di dalam kerangka konsep
Agama Hindu, cukup strategis karena merupakan penghubung jnana dan karma. Etika berbicara terletak pada posisi susila, bila konsepsi triparsial : tatwa, susila dan yajnya dipakai sebagai landasan terminologi. Di dalam konsep tri kaya parisudha, etika berbicara merupakan unsur yang sangat menentukan, baik ditinjau dari kualitas maupun kuantitas pengendalian diri.Ditinjau dari sudut sosioantropologis unsur bahasa juga menduduki kedudukan sentral, setelah religi, bila dibandingkan dengan unsur-unsur universal kebudayaan yang lain. Peranan bahasa amat luas dan mendalam. Tidak ada unsure kehidupan apa pun di dunia bisa dibina dan dikembangkan tanpa media bahasa. Tidak dapat dibayangkan bila umat mauusia menjadi bisu, peradaban akan runtuh dan dunia menjadi amat sepi.
Etika berbahasa adalah intisari berbahasa dan intisari budaya Hindu. Bila tanpa etika berbahasa, maka kebiadaban akan merajalela, dunia manawa (manusia) akan berubah jadi dunia dhanawa (setan, raksasa), Berbicara ditinjau dari etika dapat dibedakan menjadi dua : (1) Bicara yang etik moralis, dan (2) Berbicara yang tidak etik. Bipartial itu dapat dirangkum dalam dua sloka Bhagawadgita XVII,15 dan Nitisastra 65”
Anudvegakaram vaakvam sathyam priyahitam cha yat svaadhyaaybhyasanam cha va vaanmayam tanpa uchyate” (B. Gita XVII. 15)
32 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana Artinya ‘Berbicara tanpa menyinggung, melukai hati, bicara yang benar, lemah lembut, dan menarik, mempelajari pustaka suci secara teratur ini dinamakan bertapa dengan ucapan (bicara)’ Nitisastra, Sloka 65. ”Wasita nimitanta manemui laksmi, wasita nimiyyanta pati kapangguh, wasita nimitanta manemu dukha, wasita nimiyanta manemu mitra”
Artinya :
”Berbicara menyebabkan menemukan kebahagiaan
Berbicara menyebabkan menemukan kematian
Berbicara menyebahkan menemukan duka”
Berbicara menyebabkan menemukan sahabat
Diharapkan dengan uraian etika berbicara dalam sastra
Hindu ini, setiap orang akan menjadi lebih etik dalam berbicara dan menghindari berbicara yang kurang etik.
Daftar Pustaka
Bose. Ab. Candra, 1990. The Call of Weda (Diterj : IW. Sadia
Panggilan Weda. Jakarta : Yayasan Dharma Sarathi.
Crystal, David, 1992. The Cambridge Encyclopedia of Language
Melbourne : Cambridge University Press.
Darmayasa, 1 Md. 1995 (Penerjamah), Canakya Nitisastra
Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Fowler. H.W and Fowler. F.G. (Ed.). The Concise Oxford Dictionary of
Curent English. London : Oxford University Press
Geertz, Cliff ord. 1972. “Linguistic Etiquette”, dalam J.A Fishman
Readings in the Sociology of Language. Paris- Mouton : The
Hague.
Halliday, M.A.K, 1973. “Model of Interaction of Language and Social
Set ting” dalam J. Social Issues, vol. 23 1977, Exploration in the
Func tion of Language. London : Edward Arnold.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 33
Etikka Berbicara dalam Sastra Hindu (Sebuah Analisis Religiososiolinguistik)
Halliday, M.A.K and Ruquiya Hasan 1992. Language, Context, and
Aspect of Language. London : Edward Arnold.
Halim. Amran, 1976. Politik Bahasa Nasional Jakarta : P3B.
Dipdikbud
Hymes ; Dell, H. 1972. “The Ethnography of Speaking”, dalam A.
Fishman (Ed) Readings in the Sociology of Language Monton
Paris: The d ague.
Jendra. I W, 1993. Berbicara dalam Sastra Hindu Jakarta: Pustaka
Manikgeni.
___________1998. Cara Mencapai Moksha di Zaman Kali. Denpasar :
Yayasan Dharma Naradha.
Kasturi, N. 1981. Sathyam, Sivam, Sundaran, Jilid II (Diterj. Retno
Buntoro : Kebenaran, Kebijakan, dan Kemarahan). Jakarta :
YSS Sai Center Indonesia.
Khandwa. Sadh, D. R. 1992. Wacana Mutiara Bhagawan Sri Sathya
Sai Bab. Jakarta: YSS Sai Center Indonesia.
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial Jakarta:
Dian Rakyat.
Kridalaksana, Harimurti, 1982. Kamus Linguistik Jakarta : PI.
Gramedia.
Moeliono. Anton, dkk (Penyunting) 1988. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta -. P313. Dekdikbud
Menaka, I Md, 1981 (Penerjemah) Nitisastra Tabanan: Yayasan
Kesejahteraan Guru Kecamatan Selemadeg
Murnianda Brotherhood, 1988. Sai Awatar I: Bandung : Seri
Dharma ke-15
____________1988. Sai Awatar II: Bandung Sari Dharma ke- 16.
Pie, Mario, (1949) 1971. The Story of Language. New York Taranto:
The New American Library
Pendit, S. Ny. 1986 Bhagawadgita. Jakarta: DH Nusantara.
Pudja, I Gede, 1985 (Penerjemah) Sarasamuscaya. Jakarta Depag.
R.I.
Sampurna, 1979, Sai Baba Manusia Luar Biasa. Jakarta YSSSai
Center Indonesia.
Sudaryanto, 1990. Menguak Hakiki Fungsi Bahasa. Yogyakarta
Duta Wacana University Press.
Sumarmo, Marmo. 1987 “Pragmatik dan Perkembangan
Mutakhirnya” , dalam Pelba I . Jakarta: Universitas Atmajaya.
34 PEMIKIRAN KRITIS GURU BESAR UNIVERSITAS UDAYANA BIDANG SASTRA & BUDAYA
I Wayan Jendra • Fakultas Sastra Universitas Udayana
Su’ud, Astini. 1990 Ingatan dan Pikiran. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Teeuw, A. 1984 Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: PT Pustaka Jaya.
Titib. I Made. Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan.
Surabaya: Pen. Paramita.
BPMU (BADAN PENJAMIN MUTU UNUD) 2009 35
Comments
Post a Comment